Tulang Punggung

Aku mempunyai rasa tarik menarik dengan tubuh bagian belakang wanita. Terutama mereka yang baru saja meniduri raga ini yang haus akan tubuh mereka sendiri - M. F. Riphat

Jumat, 09 September 2011

satu dari tiga


“ketika dia menerka, kenapa terka?”

Terka

sepertinya langit mengantuk
bergiliran semakin sayu
termenung aku, mendengar kerikil berbisik

terka, bagaimana dia mencairkan darah yang mulai membeku
terka, bagaimana dia menghentikan langkah jantung ku
terka, bagaimana dia membangun istana pasir kitu

sepertinya waktu berlari meninggalkan aku yang lelah
aku mencoba bergegas, namun apa daya
hanya keresahan yang menyemangati hati

gelinding bola itu pun terlihat sangat terburu-buru
memang warna putih itu mulai memudar
butiran-butiran nasi pun juga terbujuk

mereka mulai membusuk

ingin rasanya mencuci noda di kemeja itu
mencoba merasakan lagi bahwa tidak ada salahnya memakai lagi
memang tidak ada lagi lemari kosong yang dapat ku pakai?

terlihat manis puding yang ter pampang di rumah makan seberang
aku menyebrang dan membeli, ternyata kecut

terka, bagaimana aku membuka lacinya
terka, bagaimana aku menghabiskan air digelas kuning cerah, tanpa meminumnya
terka, terka, dan terka

terka, kata beralasan untuk meminta


Nov 2008






"mendengar apa yang tidak kau katakan, melihat apa yang kau sembunyikan, dan menikmati cinta sudah pernah kau berikan"


Sudut, sebuah harapan titik terbalik

adakah aku di sudut hati?
lagi ku tanya, adakah aku di sudut hati

terbawa bila, memutar dunia

hasrat bersua, waktu tak kunjung tiba
air meluap, aku dan kau terhadap
bencana bagi ku, biasa bagi mu

senja itu menuai darah ku cinta

genderang menabuh, terpukau aku
nafas terbuang, semakin larut
balut saja luka hati di sudut

lambat laun menjadi menahun
berserakan daun-daun
berulah, terjamak sudah

duhai adik, abang berbisik
sedang asik semua, tak ada
serangga mengusik, mereka berbalik

setiap garis yang ku tarik diatas kertas putih dalam sudut memelas

kapsul surat terbawa ombak di laut
terdampar hanya di hati suatu sudut
titik terang, terkarang bukan

selimut ku bercerita, cahaya nurani, cahaya abadi. Titik di sudut itu berlari, dari itu maka ku tanya.
Lagi dan terus terulang.
Adakah aku di sudut hati?
Nama ku setidaknya?
Bagaimana?
Kau tau mengapa aku memaksa?
Karena dirimu tertera di sudut hati

kau memulai cerita hidupku di dalam sebuah titik terpelihara di sudut
semakin banyak terlihat kerut
cinta ku abadi tanpa raut


Nov 2008



“Ya Allah, apa yang akan terjadi?”


Pengaduan
(seperti biasa mereka lakukan)
                           

Langkah yang sudah ku lewati, kutelusuri pelan-pelan kembali
Terhenyak aku, masa lalu yang tidak mungkin terulang, secara perlahan meraba ku


Melihat apa yang terlewat


Sangat terkejut jiwa ini, banyak bercak membekas

Gerak jarum jam terdengar tergesa-gesa
Degub jantung tak beraturan, rancu

Tersadar, sudah terlalu banyak aku menyimpan debu di hati yang bukan milik ku ini
Sungguh tak pantas ku pelihara nyawa yang diberikan Nya, terbengkalai

Ambil saja tumpukan bebatuan itu
rangkai dan perpanjang ruang lingkupnya


Maaf, ku terbangkan ke alam bebas
Aku jual di tempat dimana aku membeli

Tak menyangka, aku menggadaikan pelipur lara yang singgah di tempat aku biasa berduka
penjilat



Sebenarnya tidak ada sedikitpun yang harus ku adu kan. Karena memang sang maha pendengar pun maha tahu

Maaf atas kelancangan, terjualnya, bercak, dan pengaduan kosong ter-urai


Lebih baik mati, tak sanggup menanti

Ingin abadi, tapi tak ingin sendiri


Lebih baik menunggu, menunggu rencana Mu



Nov 2008




“dirimu, vulgar bagiku”

Sebut saja puisi vulgar


Sinar matahari pagi membangunkan aku dengan sunyi
Udara segar menelusuri tubuh ku dengan nyaman

Kawan, biarlah aku bercerita tentangnya

Entah bagaimana aku harus bersyukur kepada Allah
Karena hidup ku indah, akan hadirnya dia
seperti kataku, indah tanpa celah.

Tidak bosan aku,
menemaninya,
terus memandangnya,
menyelesaikan masalah bersama,
cinta tidak membencinya.

Sungguh aku ingin,
terus hidup bersamanya,
menikmati hari dengannya,
menyelesaikan sisa hidup
di sisinya

Tolong jangan,
jauhi dia dari aku,
pergi dari aku,
dan menghilang tanpa ikrar yang seharusnya terpaku

Dia,
apapun yang terindah di dunia
Abstrak yang sangat mudah dinikmati tapi
tidak mungkin di mengerti, karena hanya hati yang bergulat

Sosok dia adalah kamu
Percaya atau tidak, memang kamu.

Aku, hanya ampas yang ingin menjadi pupuk mu.
Karena walaupun tidak berarti lagi bagi yang lain,
aku tetap dapat membantumu tumbuh dan menemani mu hidup
sebagai bunga terindah yang tidak lebih dari satu.


Tulisan ini sangat umum dan mudah dimengerti,
puisi cinta penuh arti.

Karena itu, sebut saja puisi vulgar.

Nov 2008







"Hujan deras siang ini memaksa aku untuk menulis(lagi). Apa daya, Nikmatilah!"



Kisah tak terganti



Suatu kisah ber-alamat-kan abstrak yang diinginkan setiap hal yang bernyawa.
Bermula dengan dengki tak beralasan
Ditengah muncul serigal berbulu domba
Hingga akhirnya terbuka semua

Mereka benci aku mencinta-nya

Persetan dengan 'mereka'
aku yang memulai,
aku yang membangun,
aku yang 'seharusnya' menikmati semua karya ku.


Sudah jelas abstrak in milik ku, ku persembahkan untuknya

Rintik hujan pun tahu aku mencinta-nya.

Sudah terlalu besar Jati yang kita tanam berdua
Tidakkah kau ingin aku mengukirkan sesuatu untukmu?

Walaupun terlalu dasyat angin menerpa pohon kita, tapi aku kerap menjaga
Tanah merah basah akibat hujan, sebuah karya Tuhan

Jangan biarkan mereka merusak jalan cerita ini

Karena kisah ini adalah
Kisah yang tidak tergantikan


Nov 2008


Tidak ada komentar:

Posting Komentar