apa saya sudah terlampau tua untuk mengulang dan memulai mendirikan singgasana saya sendiri?
Tadi pagi saya melihat dua pemulung, sekitar tujuh belas atau delapan belas tahun. Bermain, tertawa, bahkan menunjukkan aura yang sangat saya inginkan, merasa bebas. Apa yang mereka simpan sebagai resah hati? apakah saya yang terlalu serakah atau memang anugerah itu bukan jatah saya untuk menikmatinya? dalam hidup yang saya pilih ini, kenapa saya masih terus bergumam "terlampau sepi" ?
Ketika tertawa hanya menjadi alibi, saya mulai memandang licik setiap paras yang saya temukan dalam jalan hidup saya, baik hanya berpapasan atau pun yang harus berurusan.
Biarkan saya terus menulis disini, meskipun tidak ada arti yang harus berarti sesuatu.
Suatu kalimat tanya yang terus mengakar didalam benak saya adalah, kenapa manusia harus melampiaskan kebahagiaan dengan tertawa atau hanya sekedar tersenyum? Meskipun ada dalam beberapa kasus, mereka menangis haru karena tidak mampu tertawa lagi. kenapa? Bagaimana dengan menangis untuk melampiaskan kekecewaan dan rasa sedih? Saya manusia, tapi haruskah saya mengikuti tradisi untuk terus tertawa dan menangis untuk mempertontonkan rasa yang saya rasakan didalam diri saya yang biasa disebut "hati" oleh beberapa kaum?
Suatu kalimat tanya yang terus mengakar didalam benak saya adalah, kenapa manusia harus melampiaskan kebahagiaan dengan tertawa atau hanya sekedar tersenyum? Meskipun ada dalam beberapa kasus, mereka menangis haru karena tidak mampu tertawa lagi. kenapa? Bagaimana dengan menangis untuk melampiaskan kekecewaan dan rasa sedih? Saya manusia, tapi haruskah saya mengikuti tradisi untuk terus tertawa dan menangis untuk mempertontonkan rasa yang saya rasakan didalam diri saya yang biasa disebut "hati" oleh beberapa kaum?
Karena selama ini saya hanya tertawa untuk menutupi rasa haru maupun pilu akan hidup yang bagi saya memang terlampau sepi.
Selamat menikmati pagi, karena akan menjadi malam sebentar lagi.
Des 2011