Tulang Punggung

Aku mempunyai rasa tarik menarik dengan tubuh bagian belakang wanita. Terutama mereka yang baru saja meniduri raga ini yang haus akan tubuh mereka sendiri - M. F. Riphat

Jumat, 15 Maret 2013

Kupu-Kupu Ku

Dulu, dua tahun lalu, kamu mengemis pilu sambil menahan rasa malu
Aku hanya bisa terdiam membisu mempermainkan kamu yang memohon melulu
Baru aku tahu kalau itu mempunyai batasnya berlaku
Selalu aku mengira kamu akan terus begitu

Aku mulai tahu, Bodohnya aku

Dulu, ketika menerima tawaran cintamu, aku hanya tertawa lucu
Aku dengan tinggi hati mengabaikan kamu yang sedang merayu
Baru aku tahu kalau itu mempunyai batasnya berlaku
Selalu aku mengira kamu akan terus begitu

Kembali aku teringat, bodohnya aku

Dulu, kamu menuang susu, aku hanya menoleh ragu
Aku menahan tawa akan kamu yang memujaku waktu itu
Baru aku tahu kalau itu mempunyai batasnya berlaku
Selalu aku mengira kamu akan terus begitu

Tidak lupa mengenang, bodohnya aku

Dulu, setiap minggu kamu selalu mengirimkan senyum semu
Aku mengira itu kamu berikan terhadap semua orang tanpa terkecuali aku
Baru aku tahu kalau itu mempunyai batasnya berlaku
Selalu aku mengira kamu akan terus begitu

Tanpa basa basi, bodohnya aku

Kalau saja aku sadar dari dulu bahwa senyum yang kamu bungkus dan sisipkan di kantong celanaku bukanlah palsu. Tapi kalau saja hanyalah menjadi kalau saja, seperti kalau saja bukan aku atau kalau saja kamu mau, ah semua hanya kalau saja. Kalau saja aku tidak gila akan kamu.

Mungkin sekarang kamu sudah siap berangkat dengan kapal pesiar yang akan mengarungi samudra. Tadi malam aku melihat sendiri kamu bersiap-siap merapihkan pakaian dan segala perlengkapan untuk terus bertahan hidup yang selalu kamu iming-imingkan itu.

Bolehkah aku dan kamu menukar posisi rindu?
Bolehkah aku menjadi kamu sementara waktu?
Bolehkah aku menukar perih masa lalu dengan cinta yang tak kunjung kaku?
Bolehkah aku terus menambah pertanyaan bolehkah ku akan kamu?

Tanpa kamu, aku belum bisa menyelesaikan puisiku. Bantu aku meminjamkan mu secarik kertas dan sebuah pena untuk menyelesaikan tulisan ini, karena aku hanya mau kamu yang melakukan itu.

Semoga kamu tahu bahwa aku mau kamu, kupu-kupu ku





Maret 2013



Rabu, 13 Maret 2013

Sedikit tulisan untuk bebatuan tempat aku bersandar

Aku berjalan setapak demi setapak ditemani sebuah batu yang baru saja aku temukan beberapa langkah lalu. Sebuah batu putih kecil yang jauh dari kata sempurna, batu kotor penuh lumpur, kutemukan disamping pohon yang tidak berbeda dari berbagai pohon lain yang aku lewati. Entah kenapa aku ambil batu itu dan mengajaknya ikut aku berkelana, aku hanya tertarik tanpa alasan apapun yang menarik.

Sesekali sambil berjalan aku bersihkan sedikit demi sedikit, terkadang juga suka aku celupkan ke pinggir sungai dengan harapan bisa semakin terlihat bersih dan mencuat warna dasarnya. Tapi anehnya, setiap sudah hampir bersinar dan terlihat warna aslinya, dengan bodohnya aku membiarkan batu itu terjatuh dan lagi-lagi semakin menumpuk debu-debunya. Tanpa lelah apalagi mengeluh, sambil berjalan melalui jalan setapak demi setapak, aku terus membersihkannya, walaupun sesekali juga kotor juga.

Mungkin memang aku yang tolol dan tidak sabar, kita sudah hari ke 731 dengan santainya aku lempar dengan maksud membuang batu itu ke sungai, tanpa sadar, aku seperti merasa sepi semenjak batu itu aku buang, setiap pukul 7 pagi dan 5 sore, aku duduk sejenak, sambil melepas lelah, aku merenung, mengenang kenangan indah ketika aku menemukan batu itu, melewati hari-hari bersama batu itu, hingga aku buang begitu saja, hal ini terjadi sudah cukup lama.

Kadang aku berpikir, "bagaimana kalau batu itu diambil orang yang tidak mengerti dan tidak bisa memelihara batu itu dengan baik?"


Disaat sore, menjelang matahari terbenam, aku suka menyeburkan diri ke sungai, dengan harapan akan menemukan batu itu, batu yang menyebalkan tapi selalu memupuk rindu. Rasa kesal dan sesal selalu menyelimuti setiap malamku, mungkin dengan harapan bisa menghangatkan tubuh dari dinginnya angin malam ya.

Aku pun ragu dan entah mau bagaimana lagi.

Entah sampai kapan aku harus menunggu batu itu, batu yang pernah menemani sepi hari-hari selama ratusan hari, entah aku harus mencari batu lain lagi untuk diajak menari atau hanya duduk terpaku menunggu batu itu kembali mengetuk pintu dan kembali memohon untuk dibersihkan debu dan lumpur di sekelilingnya.

Harapan hanya tinggal harapan, kawan.

Satu demi satu memang apapun yang berada disekeliling kita pasti akan meninggalkan kita, aku baru menyadari ketika batu itu membuang rasa sepi ku, aku lupa akan air yang membuang rasa haus, aku lupa akan pohon yang membantu aku membuang rasa kantuk dengan membiarkan aku beristirahat, aku lupa akan dedaunan yang membuang teriknya panas matahari, maupun aku lupa akan kaki yang membantuku berjalan melewati ini semua.

Hey batu, terima kasih segala bentuk cinta kasih. Aku malu akan masa lalu, aku mau kamu, batuku. Tapi waktu tidak akan membeku, bahkan tidak mungkin berputar maju.

Entah engkau mendengar atau tidak, wahai sungai setiaku, sampaikan rasa rinduku pada batu itu.


Maret 2013



*Tanpa revisi