Tulang Punggung

Aku mempunyai rasa tarik menarik dengan tubuh bagian belakang wanita. Terutama mereka yang baru saja meniduri raga ini yang haus akan tubuh mereka sendiri - M. F. Riphat

Jumat, 28 Oktober 2011

Ulasan buku Aku; Pecandumu oleh Penerbit Leutikaprio

Misalkan kita di kota timur; kita akan terbangun di tengah pagi buta, menonton mayat mereka di tengah jalan A. Mereka korban perang antar bangsa

Mereka mati muda

Tapi semua tahu kalau di kota timur, tidak ada lubang untuk kabur

Tapi kenapa kota timur?

Kalau terus memisalkan kita di kota timur; kita, pria itu, dan mereka. Pakaikan anak-anak baju baru yang kita beli waktu dulu

23 tahun lagi ia tak akan di ruangan ini. Seperti warna biru dalam busana kemayu

Lagi-lagi aku tidak bisa meniduri kamu, ratuku

Misalkan kita di kota timur; kita pasti sudah mati sia-sia
(2011. Riphat, M.F. )
Cuplikan sajak berjudul “Misalkan Kita di Kota Timur” karya M.F.Riphat di atas sangat menghentak. Memang rasanya tidak cocok untuk dibaca saat sarapan. Mayat yang bergeletakan di jalanan dan perang bukanlah imajinasi yang tepat untuk teman minum teh dan mengunyah biskuit. Tapi saya menyukainya.
Sajak seperti inilah yang kita butuhkan. Kenapa? Sebab sudah cukuplah kita mengeluh tentang berbagai rasa penat dan rutinitas sehari-hari. Tugas yang menumpuk, pekerjaan yang tak pernah berhenti berdatangan. Kita mengeluh seolah-olah kita manusia paling mengenaskan di dunia. M. F. Riphat, melalui sajaknya memberikan stimulus untuk kemudian memaksa kita melakukan introspeksi diri.
Betapa beruntungnya kita kini bisa hidup tenang tanpa harus melihat mayat-mayat bergelimpangan. Betapa beruntungnya kita kini, bisa menikmati udara (yang meskipun kadang penuh dengan karbonmonoksida) tapi tak beraroma anyir darah.
Betapa beruntungnya kita, masih bisa bertahan hidup hingga sekarang. Tidak mati muda dan sia-sia seperti sebagian saudara kita di kota timur. Betapa beruntungnya, kita hanya terjebak dalam rutinitas yang tidak membuat kita bertaruh dengan kematian seperti perang.
“Aku; Pecandumu” sebuah kumpulan puisi yang sarat dengan kegelisahan hidup khas anak muda. Rasa kesepian dan kerinduan akan peluk seorang Ibu yang telah lama meninggal terlukis dengan sangat kuat dalam sajak berjudul “Ibu”, “Aku dan Si Bisu yang Kaku”, dan “Mengingatnya”. Ada buncah rasa bangga akan satu-satunya sosok lelaki perkasa dan setia, Ayah, dalam sajak “Tak Perlu yang Baru”.
Gelora percintaan pun terekam dengan baik dalam buku ini. Sajak “Kisah Singkat Tentang Taman Hiburan” dan “Sehelai” meluapkan perasaan cinta pada sang kekasih. Kegelisahan, keterpurukan, rasa bimbang, dan kebijaksaan untuk memahami setiap musibah yang ada sebagai langkah menuju kedewasaan mewarnai sebagian besar sajak dalam buku ini. Sajak “Redup Lampu” , “Dalam Sunyi”, “Sendiri”, dan “Si S” mengekpresikan kekalutan dalam jiwa penulis. Sedangkan “Pemberhentian” dan “Titik Temu” seolah menjadi klimaks dalam episode hidupnya untuk kemudian kembali dihadapkan dengan berbagai macam problematika hidup. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar